Rabu, 29 April 2009

Petani Mengeluh, Harga Kulit Manis tak Semanis Rasanya

Agribisnis 19-02-2009

*zamharir rangkuti
Di era tahun 70-an, kulit manis merupakan salah satu andalan masyarakat Kecamatan Ulupungkut dan beberapa kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Mandiling Natal (Madina). Di mana harga mencapai 1 ameh emas (2,5 gram- red) atau sekitar Rp 850.000 per kg kulit manis kering, untuk harga emas saat ini.
Namun, sekarang harga kulit manis hanya berkisar antara Rp 3.000 – Rp 4.000 per kg. Akibatnya, masyarakat enggan untuk memanen sebab biaya produksi tidak lagi sebanding dengan hasil yang mereka terima. “Saya masih ingat pada tahun 1970-an harga kulit manis ini mencapai puncaknya bisa sama dengan harga satu ameh sere (emas – red),” kata Ramli Matondang (60), petani yang memiliki lahan kulit manis warga Desa Abincaran Kecamatan Ulupungkut kepada MedanBisnis, Selasa (17/2) di kediamannya.
Dikatakannya, pada masa keemasan kulit manis banyak masyarakat merasakan dampaknya kepada peningkatan kehidupan ekonomi. Bahkan tidak sedikit yang bisa menunaikan ibadah haji atau membangun rumah permanen dari hasil penjualan kulit manis kering.
Namun, hal itu hanya bertahan beberapa tahun saja. Dan, saat ini harga kulit manis tidak semanis rasanya lagi malah terasa pahit. “Dari tahun ke tahun harga terus anjlok hingga saat ini mencapai Rp 1.500 per kg. Saya tidak tahu secara jelas penyebab anjloknya harga kulit manis ini,” kata Ramli.
“Kalau sekarang harga mencapai Rp 4.000 per kg itu sudah agak lumayan, dengan catatan tetap saja tidak sebanding biaya yang dikeluarkan untuk hasil yang kami terima,” katanya lagi.
Ramli mengakui, keluarganya saat ini memiliki beberapa hektar tanaman kulit manis yang siap dipanen kapan saja. “Tetapi melihat perbandingan harga dengan biaya yang dikeluarkan mulai dari memanen, biaya menjemur, mengupasnya sampai ongkos angkut tidak sebanding, malah kami menomboki. Makanya kita masih menahannya mana tahu harga bisa naik,” terangnya.
Pengakuan yang sama juga disampaikan petani lain Saprin Nasution (52). Ia sudah merasakan ketika harga kulit manis masih mahal, di mana pada waktu itu kehidupan keluarganya bisa tercukupi baik untuk biaya sekolah sampai ke perguruan tinggi maupun biaya lainnya.
“Saya masih ingat waktu itu banyak masyarakat yang hijrah/pindah ke ibu kota kecamatan yang pada waktu itu masih tergabung dalam Kecamatan Kotanopan. Namun, saat ini jangankan untuk membutuhui biaya sekolah anak-anak, untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup lagi kalau hanya mengandalkan dari hasil kulit manis saja,” akunya sembari menanti kejayaan kulit manis bisa terulang kembali.
Andi Hakim, salah seorang pemerhati pembangunan melihat, anjloknya harga kulit manis membuat petani mengalihkan tanamannya ke komoditas lain, seperti tamaman karet, coklat dan kopi, yang saat ini harganya juga jatuh.
“Keluhan inilah yang sering kami terima dari masyarakat petani. Sudah kulit manis tidak ada harganya ditambah lagi penderitaan anjloknya harga getah karet. Padahal setelah kulit manis tidak memiliki harga, masyarakat menggantungkan harapannya dari komoditi lainnya dan itu pun harganya anjlok,” kata Andi.
Meskipun harga kulit manis rendah namun masyarakat kata Andi tidak memiliki pilihan lain. Mereka terpaksa memanen sendiri kulit manisnya untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. “Itu saya lihat semenjak harga getah karet anjlok dalam beberapa bulan ini, mau tidak mau masyarakat harus menjual kulit manis, karena tidak ada lagi hasil lain yang diharapkan,” sebutnya.
Mengenai pemasaran kulit manis, dari pengamatannya, Andi mengatakan, volume penjulan kulit manis cukup tinggi seperti di Pasar Kotanopan tiap minggunya bisa mencapai ratusan kilogram bahkan bisa mencapai satu ton. “Karena itu kita mengharapkan pemerintah maupun pengusaha untuk mencarikan solusi agar kejayaan kulit manis ini bisa bangkit kembali,”kata Andi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar